Ads 468x60px

Monday, September 19, 2011

Ketegaran Seorang Wanita

"Suami gue berhubungan sama cewe lain, dan sekarang cewe itu hamil."

"Hah? Gemana caranya? Bukannya suami elo itu...sayang banget dan baik banget sama elo?"

"Iya. Gue tau itu. Gue juga ga ngerti. Mungkin memang satu kekhilafan, tapi kekhilafan yang fatal dan ngancurin semuanya. Ngancurin semua yang udah gue bangun sama dia."

"Loe tau darimana??"

"Cewe itu dateng dan nemuin gue."

"Sama suami loe?"

"Kaga, sendiri."

"Hah?? Jadi suami loe ga ngomong apa - apa sama sekali??"

"Gak. Sampai gue ninggalin rumah, suami gue baru nelpon dan kaget kalau gue udah tau."

"Babi."

"Dia bilang dia takut kehilangan gue. Dia takut ngancurin semua ini."

"Kenapa mikirnya baru sekarang?"

"Itu juga yang gue bilang sama dia. Hhh.....gue tau percuma gue nanya ini ke elo, gue juga udah tau pilihannya sebenernya, tapi gue masih berharap semoga ada pilihan lain sebagai jawaban? Gue harus gimana Vil? Gue tau suami gue baik dan sayang, gue tau suami gue ngelakuin kesalahan, gue tau dia udah nyesel, tapi gue juga tau gue ga bakalan lupa seumur hidup tentang ini semua. Dan gue ga yakin gue bisa terbiasa suatu saat nanti. Seumur hidup gue harus ngeliat wanita lain di samping dia, hanya karena alasan yang dangkal dan gue harus menerima begitu saja...."

"Hhh......"

"Kalo nurutin egoisnya gue, gue pengen banget nyuruh dia bayarin cewe itu buat pergi dari kehidupan gue dan dia. Gue pengen banget semuanya diulang lagi. Gue pengen banget marah - marah dan bikin suami gue dan dia sengsara. Tapi apa gunanya? Gue tetap ga akan ngerasa bahagia. Semua udah terjadi dan gue ga bisa apa - apa. Gue ga mungkin punya ati untuk nyuruh cewe itu aborsi, apalagi sekarang kandungannya udah gede. Gue juga ga mungkin lah punya ati untuk nyuruh suami gue nelantarin dia gitu aja, dan biarinin anaknya idup tanpa bapak."

"..."

"Mungkin kalau cewe itu cewe ga bener, gue bisa. Tapi cewe itu cewe baik - baik, dan mungkin memang cinta dia yg menggelapkan matanya akan keberadaan keluarga lain di balik orang yang dia cintai. Gue ga ngerti.Tapi gue tau, dia sama - sama wanita. Sama - sama mencintai dan ingin dicintai. Dan segimana gue nyalahin dia, sekali lagi ga ada gunanya Vil. Gue ga mungkin nutup mata akan kesalahan suami gue dan dia, gue juga ga mungkin nutup mata akan situasi dia biarpun hati gue sakit dan ancur. Gue juga ga sanggup nanggung dosa kalau gue harus bersikap jahat dengan wanita lain. Gue harus gimana Vil?"

"Jujur aja, gue ga tau. Gue beneran ga tau musti jawab apa. Gue sendiri kalo di posisi elo bakalan bingung. Di satu sisi gue pasti sakit hati, ga merasa dihargai, ga percaya, dan lainnya. Di sisi lain, dosa dan kemanusiaan menggelantungi hati gue sama beratnya. Jujur aja, gue malah cukup kagum sama elo, yg lagi dalam situasi kayak gini masih bisa mikirin orang lain. Jujur...gue ga tau harus jawab apa.."

"Gapapa...gue tau itu. Minimal baru elo doank yang jujur bilang ga tau. Yang lain malah nasehatin gue macem2, ada yg bilang merem2 dikit kalau suami maen cewe, ada yang bilang di poligami aja, ada yang bilang asal anak dan idup dibiayain udah cuek aja, jaman sekarang yg penting duit. Gila dan ga ada otaknya semua. Gue bukan butuh laki gue buat duit dan biaya! Gaji gue malah lebih gede dari dia! Gue butuh dia karena gue mencintai dan menyayangi dia..cuma itu."

"Gue tau.."

"Gue ga bisa tidur, mikir terus menerus, apa yang gue mau sekarang..apa yang mau gue pilih sekarang, apa yang terbaik dan apa yang akan membuat gue bahagia.."

"Pikirin juga yang terbaik buat anak loe.."

"Iya..itu pasti. Yang lain semua udah gue pikirin.., gue udah nyuruh suami gue untuk mastiin biaya untuk cewe itu, gue juga udah nyuruh nyiapin surat nikah."

"Hm.."

"Gue ga mungkin lah Vil biarinin dia tanpa status. Gue tau gimana rasanya kalo gue yg di posisi dia. Gue ga punya ati untuk tega begitu. Memang yang ada di depan mata pilihannya mereka harus resmi. Anaknya harus hidup, karena anak ga punya salah apa - apa. Dan gue..tinggal gue doank yang harus memilih..apa gue bisa nerima semua ini atau gue pergi dari hidup mereka."

"Kenapa jadi elo yang pergi? Loe rela pergi begitu aja?"

"Gue kepikiran untuk pergi bukan karena gue mikir pendek.., justru karena gue sangat sayang dia dan gue mikir panjang. Gue ga yakin gue bisa nerima semua ini dan memaafkan begitu aja. Gue ga yakin harga diri gue sebagai wanita dan kepercayaan gue bisa kembali ke asal. Dan gue yakin, selama gue merasa seperti itu, selama itu juga gue bakalan sensitif, marah - marah, dan akhirnya yang ada rumah tangga gue cuma jadi neraka buat gue, dia, dan anak gue. Jadi buat apa? Kalau gue pergi, mereka bisa hidup tenang, gue bisa move on one day selama gue ga perlu ngeliat dan teringat dengan semua ini seumur hidup, dan semua akan baik - baik aja. Tapi kalau gue tinggal, gue malah nyiptain neraka buat banyak orang...buat apa lagi Vil?"

"Hm....iya sih. Tapi gue jujur kuatir dengan anak loe. Kehilangan sosok ayah..adalah satu masalah yang cukup besar. Walaupun gue juga tau..buat apa lagi sosok ayah yang menghianati ibunya ditunjukkan kepada anak perempuannya?"

"Iya..itu juga pertimbangan gue. Mungkin suami gue khilaf, ok lah. Tapi khilaf pun adalah sebuah kesalahan. Dan salah itu tetap salah. Gue ga mau anak gue mengira gue membiarkannya salah karena cinta. Gue ga mau anak gue buta akan cinta. Gue mau dia tau, gue menjalankan apa yang benar dan apa yang salah gue tinggalkan. Gue mau dia tahu bahwa cinta dan hidup bukan sesuatu untuk dipermainkan. Dan yang paling utama gue mau dia mengerti, pria yang dulu gue kira terbaik buat gue pun, mungkin bukan benar - benar yang terbaik. Tapi itu bukan berarti harus menjadikan hidup gue buruk. Gue mau dia mengerti memaafkan tidak sama dengan menerima kembali."

"Loe yakin dengan semua itu?"

"Enggak. Makanya gue masih mikir. Udah seminggu gue di rumah bonyok. Anak gue tinggal sama suami, paling pulang sekolah kadang main ke sini. Dia belom tau apa - apa."

"Suami loe ga nyariin elo?"

"Nyariin. Bahkan nelpon tiap hari."

"Ga loe angkat?"

"Angkat. Gue jawab seperlunya. Sejak awal gue udah bilang ga perlu kuatir, gue ga akan bunuh diri dan lainnya. Gue ga sebodoh itu. Gue akan baik - baik aja, cuma gue perlu waktu untuk mikir. Dia minta maaf berkali - kali, nangis, nyesel, dan macem - macem. Tapi Vil...mau dia sujud nyembah di kaki gue 1000 kali pun...memangnya yang udah terjadi bisa diputar balik? Memangnya segalanya bisa kembali seperti semula?"

"Iya.."

"Ga perlu dia minta maaf pun pilihan gue cuma maafin. Bisa apa gue? Tapi masalah balik lagi atau pisah, itu pilihan gue. Dan ga ada hubungannya dengan maaf."

"Iya. Itu pilihan loe yang harus loe pikir mateng2. Gue ngerti banget sih, yang loe rasain sekarang adalah dilema dan pertentangan dengan diri elo sendiri. Memang semua udah terjadi dan loe ga bisa ubah itu, satu - satunya yang tinggal jadi masalah adalah diri loe sendiri. Tapi gue juga yakin, ga semudah itu untuk nyari solusinya, karena yg loe hadapin sekarang adalah masalah perasaan dan emosi. Cinta dan kebersamaan adalah rasa dan emosi. Gue juga ngerti, fokus di masalah dan sekaligus emosi adalah hal tersulit dalam hidup ini. Tapi loe udah menjalankannya dengan baik sampai tahap ini. Loe udah menunjukkan kedewasaan elo dengan menyimpan rapat - rapat emosi loe sampai tahap terakhir, dan menyelesaikan semua yang harus loe selesaikan duluan. Gue salut sama elo."

"Apa gue bener udah sebaik itu Vil? Apa bener yg gue lakukan sekarang sudah sebaik itu?"

"Menurut gue iya. Loe udah melakukan yang terbaik yang bisa loe lakukan, yang bahkan mungkin ga akan bisa orang lain lakukan, termasuk gue. Loe juga bisa menyadari sepenuhnya duduk permasalahannya, pilihan, dan solusi yang bisa loe pilih untuk masalah ini, dalam keadaan di mana elo seharusnya berada di posisi yang sulit untuk bisa menganalisa pilihan2 itu. Loe hebat. U really are a tough and wise woman."

"Thank you Vil. Tapi..kalau gue sebaik itu, kenapa suami gue ga sadar itu? Kenapa?"

"Maunya gue sih jawabnya karena dia bego, goblok, tolol, super idiot. Tapi gue tau loe yg lebih ngenal dia. Tapi kalau loe tanya gue, gue cuma bisa bilang, gue kenal elo sama baiknya dengan dia mengenal elo..dan kalau gue suami elo, gue yakin ga akan ada cerita seperti ini."

"Hehe....kalo elo cowo, gue udah pasti kawin sama elo dari pertama, Vil."

"Hehehe..."

"Thank you Vil..doa buat gue ya. Semoga gue tau apa jawaban terbaik buat semua ini. Hug me please.."

"Amin.." *hug*

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
bahunya bergetar di dalam pelukanku..
air matanya membasahi bahuku..
tenggorokanku tercekat dan air mataku rasanya tak bisa kutahan..
sahabat yang kusayang..teman yang kukenal cukup lama..
salah satu wanita terbaik yang pernah kukenal..
salah satu wanita yang kukasihi..
semoga kamu dikuatkan dan diberikan ketabahan sepenuhnya..
semoga malaikat Tuhan bersamamu setiap waktu..
saat ini, hanya doa, waktu, dan supportku untukmu yang bisa kuberikan..
tabahlah, tabahlah, dan tabahlah..
kuatkan hatimu..
karena Tuhan takkan pernah meninggalkanmu.

Segala yang buruk dan menyedihkan..
akan dibalas ratusan kali lipat dengan kebahagiaan yang melimpah.
Percayalah.

Cinta hanyalah cinta, hidup hanyalah hidup.
Terbaik dan terburuk, pilihan demi pilihan.
Kamu hanya mampu menjalaninya ke depan,
dan tidak kebelakang.
Kamu yang baru menunggu di depan sana..
dan setelah air matamu kering, dan hatimu puas berlelah - lelah..
berlarilah dan gapai dirimu yang baru.
Aku yakin satu hari nanti aku akan mendengarmu berkata..
"Untung waktu itu aku begitu.."

0 comments: