Ads 468x60px

Monday, September 19, 2011

BUAH KESABARAN

Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw. Pernah bersabda:

“Apabila Allah mencintai hambanya, maka ia akan mengujinya sehingga Allah mendengar permohonannya dengan penuh ketundukan” (HR. Al-Baihaqi)

Musibah merupakan salah satu cara Allah Swt menguji hambanya. Mungkin berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta benda, keluarga serta buah-buahan. Demikian itu Allah lakukan untuk mengetahui siapa yang sabar dan tidak di antara mereka. Karena itu Allah menyatakan bahwa berilah kabar gembira kepada hamab-hambaKu yang sabar.


Allah berfirman:

Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.(QS. Al-Baqarah: 155)

Ujian Allah itu juga bisa berbentuk perintah yang cukup berat dan sangat sulit untuk dilakukan seperti perintah jihad yang dahulu Allah Swt. perintahkan kepada para sahabat yang mengaku diri beriman. Mereka mengaggap bahwa ungkapan “Aku beriman kepada Allah” merupakan bukti akhir dari keimanan seseorang. Menyikapi hal itu Allah Swt. menurunkan al-ayat Qur’an yang berbunyi:

Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami Telah beriman” sedang mereka tidak diuji lagi?

Dan Sesungguhnya kami Telah menguji orang-orang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al-Ankabût: 1-3)

Karena itu, yakinlah bahwa tidak seorangpun yang luput dari musibah dan ujian Allah Swt, bahkan dia adalah nabi kekasih Allah Swt. sekalipun. Mari sejenak kita membuka lembaran sejarah penuh makna dari seorang nabi (Ayub As.) yang sangat taat telah diberikan ujian besar oleh Allah Swt. Namun dengan modal kesabaran ia mampu menghalaunya sehingga Allah Swt menempatkanny pada derajat yang tinggi disisi-nya.

Nabi Ayyub adalah seorang nabi yang diberikan banyak keutamaan oleh Allah Swt. berupa kekayaan yang berlimpah ruah, binatang ternak, tanah dan aset-aset lainnya yang tak terhitung jumlahnya. Namun kekayaan yang ia miliki tersebut tidak menjadikan dirinya lalai untuk tetap taat dan patuh kepada semua perintah Tuhan-Nya. Kekayaanya juga tidak membuatnya angkuh dan sombong. Semua kekayaan tersebut ia gunakan untuk menyantuni fakir miskin, janda-janda serta anak-anak yatim.

Dengan izin Allah Swt. suatu hari Nabi Ayyub As. Memndapatkan cobaan yang sangat berat. Penyakit menaun yang menjijikkan dan sulit disembuhkan datang menimpanya. Bukan itu saja, kekayaan yang ia miliki sirna dengan seketika hingga ia jatuh miskin. Namun kondisi demikian tidak membuat dirinya surut dan pesimis. Ia tetap istiqamah dalam ketaat an kepada Allah. dari mulut beliau terucap: ”Ya Allah, sesungguhnya engkaulah yang telah memberiku, maka engkaulah yang berhak untuk mengambilnya”. Penderitaan yang dialami belum berakhir, teman dekat saat ia kaya telah banyak menjauhinya, bahkan Ayyub sendiri dikucilkan oleh mereka ke luar kota. Istri yang beliau sangat cintai paergi meningalkannya kecuali Siti Rahmah yang tetap setia mendampinginya meski kesabarannya hampir saja hilang. Dari mulut Siti Rahmah pernah terucap kata-kata: “wahai suamiku engkau adalah seorang nabi yang mulia, seandainya engkau meminta kepada Tuhanmu pasti Dia akan membebaskanmu”. Nabi Ayyub menjawab: “Wahai istriku, kita sudah delapan puluh tahun lamanya menikmati kebahagiaan dan kehidupan yang serba berkecukupan, sungguh tak pantas rasanya untuk memintanya, terlalu sedikit cobaan yang kita terima dibandingkan kenikmatan yang telah aku rasakan”.

Dengan ketabahan yang dimiliki keduanya, Allah memberikan kesembuha kepada Nabi Ayyub dan keduanya kembali menikmati lembaran kehidupan baru, bahkan lebih bahagia dari sebelumnya. Ketabahan dan kepasrahan ysng dimiliki keduanya lahir dari sebuah keyakinan bahwa segala yang terjadi dalam diri setiap makhluk adalah kehendak Allah Swt.

Firman Allah Swt.:

“Tidak suatu bencanapun yang menimpa dibumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauhim mahfudz) sebelum kami menciptakannya, sesungguhnya yang demkian itu adalah mudah bagi Allah, supaya kamu jangan terlalu bergenbira terhadap apa yagdiberikan-Nya kepadamu dan Allah tidak menyukai seiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS;al-Hadid: 22-23)

Kejadian di atas tidak hanya berlaku bagi Nabi Ayyub secara personal saja melainkan bagi semua makhluk. Karena itu, ketundukan dan kepasrahan kepada Allahlah yang dapat menjadi modal utama hidup ini. Harus diyakini bahwa apapun yang terjadi pada diri manusia merupakan spisode dari sebuah drama yang mesti dilalui sebelum sampai kepada ending cerita. Nabi Ayyub yang ketaatannya tidak dapat diragukan lagi telah mengalami peristiwa yang sungguh tragis, namun ketaatan kepada Tuhan-Nya telah menjadikan dirinya bersabar. Kini, mampukah kita untuk meneladani sifat Nabi Ayyub yang saat ditimpa musibah tidak sibuk menghitung kekayaan yang hilang namun berusaha menanamkan kesadaran bahwa nikmat yang telah diberikan jauh lebih besar dari musibah yang menimpa. Wallahu a’lam

0 comments: